Kamis, 09 Juli 2009

GUDANG ARTIKEL KESEHATAN

Toenggoe yuaaah....

Hipertermi

Hipertermi

1.2.1 Pengaturan Suhu Tubuh

Seperti banyak fungsi biologis lainnya, suhu tubuh manusia memperlihatkan irama sirkadian. Mengenai batasan “normal”, terdapat beberapa pendapat. Umumnya berkisar antara 36,10C atau lebih rendah pada dini hari sampai 37,40 C pada sore hari. Atau 36,5 + 0,70 C (Benneth, et al, 1996; Gelfand, et al, 1998).

Lebih lanjut dijelaskan, suhu tubuh rata-rata orang sehat 36,8+0,40 C, dengan titik terendah pada jam 06.00 pagi dan tertinggi pada jam 16.00. Suhu normal maksimum (oral) pada jam 06.00 adalah 37,20 C dan suhu normal maksimum pada jam 16.00 adalah 37,70 C. Dengan demikian, suhu tubuh > 37,20 C pada pagi hari dan > 37,70 C pada sore hari disebut demam (Gelfand, et al, 1998; Andreoli, et al, 1993; Lardo, 1999). Sebaliknya Bennet & Plum (1996) mengatakan, demam (hipertemi) bila suhu > 37,2 0 C.

Walaupun tidak ada batasan yang tegas, namun dikatakan bahwa apabila terdapat variasi suhu tubuh harian yang lebih 1-1,50 C adalah abnormal. Suhu tubuh dapat diukur melalui rektal, oral atau aksila, dengan perbedaan kurang lebih 0,5- 0,60 C, serta suhu rektal biasanya lebih tinggi (Andreoli, et al, 1993; Gelfand, et al, 1998).

Nukleus pre-optik pada hipotalamus anterior berfungsi sebagai pusat pengatur suhu dan bekerja mempertahankan suhu tubuh pada suatu nilai yang sudah ditentukan, yang disebut hypothalamus thermal set point (Busto, et al, 1987; Lukmanto, 1990; Lardo, 1999).

Peningkatan suhu tubuh secara abnormal dapat terjadi dalam bentuk hipertermi dan demam. Pada hipertermi, mekanisme pengaturan suhu gagal, sehingga produksi panas melebihi pengeluaran panas. Sebaliknya, pada demam hypothalamic thermal set point meningkat dan mekanisme pengaturan suhu yang utuh bekerja meningkatkan suhu tubuh ke suhu tertentu yang baru. Tingginya peningkatan suhu tubuh tidak dapat dipakai untuk membedakan hipertermi dengan demam. Perbedaan antara demam dan hipertermi lebih dari perbedaan teoritis belaka ( Lukmanto, 1990).

Menurut Darlan Darwis cit. Lardo S (1999), pembagian demam, yakni:

1. Demam dengan peninggian set point hypothalamus

Cirinya : pembentukan panas meningkat, pembuangan menurun.

Penderita biasanya merasa demam tetapi menggigil dan kedinginan serta ekstremitas dingin. Keadaan ini biasanya diobati dengan antipiretika yang langsung bekerja pada hypothalamus.

2. Demam dengan set point hypothala mus normal.

a. Pembentukan panas meningkat, pembuangan normal.

Keadaan ini sering terdapat pada : malignan hyperthermia, hipotiroidisme, hipernatremia, keracunan aspirin, memakai baju terlalu tebal, udara terlalu panas (Heat Stroke). Dalam keadaan ini penderita merasa kepanasan, berkeringat banyak, ekstremitas panas dan lembab, menggigil dan pilloerection.

b. Pembentukan panas normal, pembuangan terganggu.

Terdapat pada luka bakar, displasia ektodermal, keracunan akut antikolinergik. Secara klinis pasien kepanasan, juga keringat sedikit tidak ada dan pilloerection tidak ada. Penanggulangan pada keadaan ini adalah dengan kompres dingin, pemberian antipiretika tidak diperkenankan.

3. Demam tipe sentral.

Pada keadaan ini terjadi kerusakan pada TRC. Misalnya pada encephalitis, perdarahan intrakranial, trauma kapitis, dll. Biasanya set point hypothalamus rusak sehingga penderita berubah menjadi makhluk poikilothermis.Jika dikompres dingin suhu tubuh sulit untuk naik lagi (Busto, et al,1987). Pada penderita demam tipe sentral dapat terjadi hiperpireksi, pasien menjadi gaduh gelisah, kejang. Suhu rectal diatas 410 C kalau dibiarkan berlama - lama menyebabkan kerusakan otak yang permanent, sedangkan suhu rectal diatas 430 C dapat menyebabkan kematian (Lukmanto, 1990)

1.2.2 Mekanisme terjadinya demam

Castillo, et al (1998) melaporkan bahwa hipertermia, 58% disebabkan oleh infeksi, 42% disebabkan oleh nekrosis jaringan atau oleh perubahan mekanisme termoregulasi yang terjadi jika lesi mengenai daerah anterior hipotalamus.

Terjadinya demam disebabkan oleh pelepasan zat pirogen dari dalam lekosit yang sebelumnya telah terangsang baik oleh zat pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi (Benneth, et al, 1996; Gelfand, et al, 1998). Pirogen eksogen ini juga dapat karena obat-obatan dan hormonal, misalnya progesterone.

Pirogen eksogen bekerja pada fagosit untuk menghasilkan IL-1, suatu polipetida yang juga dikenal sebagai pirogen endogen. IL-1 mempunyai efek luas dalam tubuh. Zat ini memasuki otak dan bekerja langsung pada area preoptika hipotalamus. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam arakhidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis PGE-2 yang langsung dapat menyebabkan suatu pireksia/ demam (Lukmanto, 1990; Gelfand, et al, 1998).

Secara skematis mekanisme terjadinya demam dapat digambarkan sebagai berikut : (Gelfand, et al, 1998)

Penyebab demam selain infeksi ialah keadaan toksemia, adanya keganasan atau akibat reaksi pemakaian obat (Gelfand, et al, 1998). Sedangkan gangguan pada pusat regulasi suhu sentral dapat menyebabkan peninggian temperature seperti yang terjadi pada heat stroke, ensefalitis, perdarahan otak, koma atau gangguan sentral lainnya. Pada perdarahan internal saat terjadinya reabsorbsi darah dapat pula menyebabkan peninggian temperatur ( Andreoli, et al, 1993 ).

1.2.3 Suhu tubuh dan metabolisme

Reaksi tubuh terhadap stress pada keadaan injury akan menimbulkan peningkatan metabolic, hemodinamik dan hormonal respons (Lukmanto, 1990).

Peningkatan pengeluaran hormon katabolik (stress hormon) yang dimaksud adalah katekolamin, glukagon dan kortisol.Ketiga hormone ini bekerja secara sinergistik dalam proses glukoneogenesis dalam hati terutama berasal dari asam amino yang pada akhirnya menaikkan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Faktor lain yang menambah pengeluaran hormon katabolik utamanya katekolamin ialah dilepaskannya pirogen dapat merubah respon hiperkatabolisme dan juga merangsang timbulnya panas (Lukmanto, 1990; Ginsberg, 1998).

1.2.4 Suhu Tubuh dan Sirkulasi Serebral

Pengaruh hipertermia terhadap sawar darah otak/ BBB adalah meningkatkan permeabilitas BBB yang berakibat langsung baik secara partial maupun komplit dalam terjadinya edema serebral (Ginsberg, et al, 1998). Selain itu hipertermia meningkatkan metabolisme sehingga terjadi lactic acidosis yang mempercepat kematian neuron (neuronal injury) dan menambah adanya edema serebral (Reith, et al, 1996). Edema serebral (ADO Regional kurang dari 20 ml/ 100 gram/ menit) ini mempengaruhi tekanan perfusi otak dan menghambat reperfusi adekuat dari otak, dimana kita ketahui edema serebral memperbesar volume otak dan meningkatkan resistensi serebral. Jika tekanan perfusi tidak cukup tinggi, aliran darah otak akan menurun karena resistensi serebral meninggi. Apabila edema serebral dapat diberantas dan tekanan perfusi bisa terpelihara pada tingkat yang cukup tinggi, maka aliran darah otak dapat bertambah (Hucke, et al, 1991). Dengan demikian daerah perbatasan lesi vaskuler itu bisa mendapat sirkulasi kolateral yang cukup aktif, kemudian darah akan mengalir secara pasif ke tempat iskemik oleh karena terdapatnya pembuluh darah yang berada dalam keadaan vasoparalisis. Melalui mekanisme ini daerah iskemik sekeliling pusat yang mungkin nekrotik (daerah penumbra) masih dapat diselamatkan, sehingga lesi vaskuler dapat diperkecil sampai daerah pusat yang kecil saja yang tidak dapat diselamatkan lagi/nekrotik (Hucke, et al, 1991). Apabila sirkulasi kolateral tidak dimanfaatkan untuk menolong daerah perbatasan lesi iskemik, maka daerah pusatnya yang sudah nekrotik akan meluas, sehingga lesi irreversible mencakup juga daerah yang sebelumnya hanya iskemik saja yang tentunya berkorelasi dengan cacat fungsional yang menetap, sehingga dengan mencegah atau mengobati hipertermia pada fase akut stroke berarti kita dapat mengurangi ukuran infark dan edema serebral yang berarti kita dapat memperbaiki kesembuhan fungsional (Hucke, et al, 1991).

1.2.5 Penatalaksanaan

1. Mempertahankan suhu dalam batas normal

· Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia

· Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan

· Beri minum yang cukup

· Berikan kompres air biasa

· Lakukan tepid sponge (seka)

· Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat

· Pemberian obat antipireksia

· Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat

2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan

· Menilai status nutrisi anak

· Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.

· Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi

· Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering

· Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama

· Mempertahankan kebersihan mulut anak

· Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit

· Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak

3. Mencegah kurangnya volume cairan.

· Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam

· Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah

· Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama

· Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam

· Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge

· Memberikan antibiotik sesuai program

(Suriadi & Rita Y, 2001)

1.2.6 Perawatan Pada Penderita Demam

a. Dianjurkan untuk istirahat minimal 1 minggu / dan mengurangi aktivitas bermain.

b. Memperkuat asupan nutrisi makanan dalam porsi kecil tapi sering.

c. Dianjurkan untuk mengkomsumsi makanan yang dihaluskan seperti bubur saring.

d. Kompres pada daerah dahi, ketiak dan lipat paha bila panas.

e. Dianjurkan untuk banyak minum.

f. Menggunakan pakaian yang dapat menyerap keringat.

g. Hubungi petugas ke-sehatan atau fasilitas kesehatan yang terdekat.

1.2.7 Akibat Lanjut Bila Tidak Diatasi

a. Adanya peradangan pada usus.

b. Terjadi perdarahan pada usus yang diakibatkan adanya luka pada usus.

c. Adanya penurunan kesadaran.

d. Berlanjut pada organ – organ vital lainnya : otak , paru – paru, ginjal, hati jantung.

1.2.8 Pencegahan Terhadap Demam

a. Kesehatan lingkungan.

b. penyediaan air minum yang memenuhi syarat.

c. Pembuangan kotoran manusia pada tempatnya.

d. Pemberantasan lalat.

e. Pembuangan sampah pada tempatnya.

f. Pendidikan kesehatan pada masyarakat.

g. Pemberian imunisasi lengkap kepada bayi.

h. Makan makana yang bersih dan sehat

i. Jangan biasakan anak jajan diluar

j. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan